Foto/Sukriansyah S Latief    

" Berada Ho Chin Minh atau Kota Saigon Vietnam tak ubahnya berada di Paris, demikian ungkap wartawan senior Sukriansyah S Latief memulai laporannya jurnalistiknya di kota Saigon. Ada begitu banyak yang mempesona dari gambaran yang dituangkan Sukriansyah yang karib disapa Uki tentang kota yang dulu 'babak belur' oleh perang. Berikut laporan lengkapnya." (-red) 

Oleh: Sukriansyah S Latief    

JALAN-jalan di Kota Saigon atau Ho Chi Minh City, khususnya di Distrik 1, tak ubahnya seperti berada di Paris, Perancis. Dua kali ke Perancis, saya merasa sedang berada di kota Paris yang ketiga kalinya saat menelusuri Kota Saigon. Betapa tidak, gedung-gedung di kota ini masih berarsitektur Perancis, baik itu gedung pemerintah, hotel-hotel bintang 5, taman-taman kota, bahkan Katedral Notre Dam di Paris, juga ada di Saigon.

Sebelum mendarat di Bandara Tan Son Nhat International, Saigon, Vietnam, saya membayangkan kota ini seperti di film-film Hollywood yang bercerita tentang perang dan kekejaman seperti yang diperankan Silvester Stallone atau Chuck Norris. Meski dari beberapa artikel dan cerita teman yang menyatakan bahwa Saigon kini telah jauh berubah dan berkembang maju, pikiran saya masih tetap dipengaruhi film-film perang, yang memang menjadi tontonan kegemaran saya. Dan saat tiba di landasan, ternyata sisa-sisa perang itu memang masih ada.

Sejumlah benteng berbentuk huruf U dengan tinggi sekitar 2 meter, masih banyak ditemui sebelum pesawat benar-benar berhenti. Namun, bandara ini jauh lebih baik dan canggih dibanding beberapa tahun lalu. Counter Imigrasi juga lumayan banyak, lebih dari 10, dan semuanya terbuka. Teman saya yang ikut dalam rombongan Lion Air yang kembali menerbangi Vietnam dari Singapura dan Jakarta, menyatakan kekagumannya. ‘’Padahal 3 tahun lalu bandaranya masih seperti bandara di Ternate,’’ kata Hasyim Arsal.

Foto/Sukriansyah S Latief   

Memang, sejak 2 tahun lalu telah dibangun bandara baru di samping bandara lama (seperti Bandara Hasanuddin), dan baru sekitar 7 bulan bandara ini beroperasi. Perubahan dan kemajuan Vietnam, baik di Hanoi sebagai ibukota, dan juga di Saigon sebagai kota bisnis yang terbesar dan terpadat (sengaja saya sebut Saigon, bukan Ho Chi Minh City, karena penduduk di sini lebih senang menyebut demikian) memang cukup pesat dalam beberapa tahun terakhir ini. Dari sensus tahun 2006, Vietnam termasuk dalam grup ekonomi "Next Eleven".

Menurut laporan pemerintah, GDP Vietnam tumbuh sebesar 8.17%, dengan tingkat pertumbuhan tercepat kedua di Asia Timur dan pertama di Asia Tenggara. Dengan populasi sekitar 84 juta jiwa, Vietnam adalah negara terpadat nomor 13 di dunia. Meski secara umum masih tergolong negara miskin dengan GDP US$280,2 miliar pada 2006 yang berarti kemampuan daya beli sebesar ~US$3.300 per kapita (atau US$726 per kapita berdasarkan market exchange rate).

Namun daya beli publik kini meningkat dengan pesat. Kemiskinan, berdasarkan jumlah penduduk yang hidup dengan pendapatan di bawah $1 per hari, telah menurun secara drastis dan sekarang lebih sedikit daripada di Cina, India dan Filipina. Padahal, seperti diketahui, perang Vietnam yang terjadi antara 1957 dan 1975 sangat menghancurkan perekonomian Vietnam. Pada saat pengambilalihan kekuatan, pemerintah menciptakan sebuah ekonomi terencana, mirip apa yang dilakukan Indonesia di zaman Orde Baru lewat Rencana Pembangunan Lima Tahun.

Kolektivisasi pertanian, pabrik-pabrik dan modal ekonomi diterapkan, dan jutaan orang diperkerjakan pada program-program pemerintah. Untuk beberapa dekade, ekonomi Vietnam terganggu oleh ketidakefisienan dan korupsi dalam program-program negara, kualitas buruk dan di bawah target produksi dan pembatasan pada kegiatan perekonomian dan perdagangan. Vietnam juga menderita akibat embargo perdagangan oleh Amerika Serikat dan kebanyakan negara-negara Eropa setelah Perang Vietnam. Setelah itu, partner-partner perdagangan dengan blok-blok Komunis mulai surut.

Foto/Sukriansyah S Latief   

Pada 1986, Kongres Partai Keenam memperkenalkan reformasi ekonomi penting dengan elemen-elemen ekonomi pasar sebagai bagian dari paket reformasi ekonomi luas yang disebut Doi Moi (Renovasi). Kepemilikan swasta digenjot dalam bidang industri, perdagangan dan pertanian. Dalam satu pihak, Vietnam berhasil mencapai pertumbuhan GDP tahunan sebesar 8% dari tahun 1990 hingga 1997 dan berlanjut sekitar 7% dari tahun 2000 hingga 2005, membuat Vietnam sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat kedua di dunia. Pada saat yang bersamaan, investasi asing tumbuh tiga kali lipat dan simpanan domestik tumbuh empat kali lipat.

Manufaktur, teknologi informasi dan industri teknologi canggih membentuk bagian besar dan tumbuh dengan cepat daripada ekonomi nasional. Vietnam secara relatif adalah pemain baru dalam bisnis perminyakan, tetapi sekarang Vietnam adalah produser minyak terbesar ketiga di Asia Tenggara dengan nilai produksi 400.000 barel per hari. Vietnam adalah salah satu negara Asia yang memiliki kebijakan ekonomi paling terbuka; neraca perdagangan mencapai sekitar 160% GDP, lebih dari dua kali rasio yang dimiliki Cina dan lebih dari empat kali rasio India.

Dan sebagai hasil dari langkah-langkah reformasi tanah (land reform), Vietnam sekarang adalah produsen kacang cashew terbesar dengan pangsa 1/3 dari kebutuhan dunia dan eksportir beras kedua terbesar di dunia setelah Thailand. Vietnam memiliki persentasi tertinggi atas penggunaan lahan untuk kepentingan cocok tanam permanen, 6,93%, daripada negara-negara lain di Sub-wilayah Mekong Raya (Greater Mekong Subregion).

Selain beras, kunci ekspor adalah kopi, teh, karet dan produk-produk perikanan. Di antara langkah-langkah lain yang diambil dalam proses transisi ke ekonomi pasar, Vietnam, pada Juli 2006 meng-update peraturan properti intelektualnya untuk mematuhi TRIPS. Vietnam diterima sebagai anggota WTO pada 7 November 2006. Partner-partner perdagangan utama Vietnam termasuk Jepang, Australia, negara-negara ASEAN, Amerika Serikat, dan negara-negara Eropa Barat. Tapi begitulah, meski kini tumbuh dan berkembang sebagai kota bisnis dan wisata (jumlah pengunjung ke Vietnam meningkat dengan cepat 10 tahun terakhir ini, sekitar 3.56 juta turis asing mengunjungi Vietnam pada tahun 2006 yang berarti mengalami peningkatan 3.7% dari tahun 2005), Saigon tak melepaskan identitasnya sebagai kota yang pernah lama dijajah Perancis (abad ke-19 dari 1867-1957).

Justru bangunan-bangunan berarsitektur Perancis tetap dijaga dan dijadikan kekuatan sebagai kota wisata. Bahkan gedung-gedung hotel berbintang 5, seperti Majestic, Renaisance dan Caravelle, gedung kantor pos, gedung kesenian, dan balaikota dijadikan ikon kota. Termasuk taman-taman kota, yang biasa disebut taman cinta, mirip taman-taman kota yang ada di Paris.

Meski baru jam 10 pagi, taman-taman cinta sudah dikunjungi pasangan-pasangan muda yang bermesraan, baik di bangku-bangku yang disediakan, maupun di atas motor mereka. Saya juga langsung teringat taman di sekitar Jalan Sultan Hasanuddin, Makassar, yang sering dijadikan tempat bermesraan, khususnya di sore hari, tak jauh dari patung Macan. Melihat-lihat Kota Saigon, saya juga langsung teringat begitu banyak bangunan-bangunan peninggalan Belanda (gedung pemerintah maupun hotel) yang ada di Makassar kini telah hilang, baik yang dibongkar total maupun direnovasi dengan menghilangkan bentuk aslinya.

Foto/Sukriansyah S Latief    

Ada baiknya pemerintah Provinsi Sulsel dan Kota Makassar mulai dan tetap menjaga situs-situs peninggalan bersejarah dan gedung-gedung yang bisa menjadi ikon dan kekuatan wisata daerah ini. Termasuk tentunya Karebosi sebagai ‘public space’ dan ikon Selawesi Selatan sebagai tempat yang bukan hanya untuk berolahraga, tapi juga menjadi tempat umum masyarakat untuk beraktifitas.

Maka mestinya Karebosi tidak bolah dikomersialisasikan dengan melakukan pengkotak-kotakan, apalagi menjadi tempat bisnis, semacam mall. Dalam hal ini tepat apa yang dikatakan Wapres Jusuf Kalla saat meninjau Karebosi , yang menolak komersialisasi, seperti yang saya baca di Fajar Online. Kembali ke Saigon, setelah membayangkan Makassar, ada satu hal yang sangat berbeda antara Saigon dengan Paris, yaitu kesemrawutan kendaraan.

Bayangkan, dari sekitar 8 juta penduduk Saigon, ada 4 juta kendaraan motor roda 2 dan sekitar 500 ribu mobil. Itu berarti setengah jumlah penduduk di Saigon mempunyai motor, atau hampir semua orang dewasa mempunyai satu motor. Dalam satu rumah, bisa ada 2 sampai 4 motor. Sementara, jalan-jalan di kota Saigon tidaklah lebar, kira-kira seperti Jalan Racing Center. Dengan jalan seperti ini, ditambah dengan kurangnya lampu pengatur lalu lintas, bisa dibayangkan betapa semrawutnya jalan-jalan di Saigon. Motor-motor itu seperti serangga yang terbang bergerombol memadati jalan-jalan dengan suara klakson yang tak pernah berhenti. Ini akan tampak sangat padat, khususnya di pagi hari dan sore hari sekitar jam 5 saat pulang kantor.

Tak heran, tingkat kecelakaan di Saigon mencapai 60 ribu per tahun. Ini pula yang membuat pemerintah mewajibkan pemakaian helm sejak tiga bulan lalu, meski helm yang dipakai di Saigon bukan helm standar. ‘’Helm tengkorak hanya dipakai untuk gaya-gayaan saja,’’ kata Ronald, orang Batak yang sudah tiga tahun bekerja di Saigon.

Meski sering ada tabrakan, lanjut Ronald, tidak ada pemukulan massa terhadap penabrak. ‘’Biasanya langsung diselesaikan atau memanggil polisi menyelesaikan,’’ tambahnya. Uniknya, biasanya mobil dan motor yang hanya tersentok sekalipun, tak mau dipindahkan, meski itu di tengah jalan dan memacetkan lalu lintas. Nanti setelah ada polisi baru kendaraan tersebut dipinggirkan. Sekadar tambahan, beberapa tahu lalu di Vietnam, motor dibuat di rumah-rumah penduduk (home industri), tapi karena tingkat keselamatannya yang rendah, kini telah dilarang. *** 

Sukriansyah S Latief adalah Wartawan Senior